Gerakan literasi melahirkan banyak pegiat aktif literasi dengan produk tulisan, baik antologi maupun solo. Hal ini melahirkan penerbit-penerbit indie sebab untuk memasuki penerbit mayor ternyata tidak mudah. Produk-produk literasi berbentuk buku semakin banyak dan menuntut aktualisasi sebagai wujud nyata.
Hal ini menyebabkan kebutuhan pengakuan yang kita kenal dengan ISBN. Semakin banyak dan banyak. Ada penerbit indie yang sportif memenuhi kewajiban mengirim produk ke perpusnas, tetapi ada juga yang tidak. Hal ini mengakibatkan administrasi di perpusnas mengalami situasi yang tidak tertib.
Itu menurut saya, mungkin ada yang berpendapat lain, untuk menambah ilmu.
Menurut Taufik bHidayatullah, dari Rumah Dunia, milik Gol A Gong, menyitir pendapat pak Bos di laman Facebook-nya mengatakan bahwa sejak tahun 2006 sampai 2021, pengajuan ISBN dari penerbit sebanyak 612. 589 ISBN. Jumlah ini sangat menggembirakan sebab menjadi bukti keberhasilan gerakan literasi di negeri ini.
Jumlah pengajuan sebesar itu membuat bangga sebab hal tersebut mengisyaratkan bahwa pertambahan jumlah buku dan sekaligus penulis dan pembacanya sangat menggembirakan. Tetapi, ada satu hal yang, sepertinya diabaikan, entah itu karena lupa atau faktor lain, misalnya penulis yang membatalkan penerbitan buku ya, padahal penerbita sudah mengajukan permintaan ISBN. Kewajiban yang dimaksudkan adalah menyetorkan 2 (,dua) eksemplar buku sebagai bukti terbit. Setoran buku bukti terbit ini untuk ketertiban administrasi perpusnas.
Ketertiban administrasi perbukuan menjadi satu hal penting dalam penataan bukti. Jika administrasi ini tidak tertata, maka menjadi kelemahan dunia perbukuan kita. Bagaimana tidak, seperti disampaikan Taufik Hidayatullah, dari 612. 589 ISBN yang diajukan penerbit, kemungkinan besar penerbit indie, yang tidak menyetorkan bukti terbit sebanyak 271.678 ISBN.
Administrasi perpustakaan nasional mengalami penataan yang amburadul. Kalau kita katakan buku diatur berurutan, maka tatanan buku akan melompat-lompat. Kita misalkan dari 100 buku, ternyata 50 buku yang hilang secara acak, maka tatanan buku pasti acak dan tidak teratur pula. Hal ini akan menurunkan kedibilitas perpusnas sebagai pusat pengarsipan buku. Sementara kita sangat menyadari bahwa buku merupakan bukti perkembangan pola kehidupan dan budaya sebuah bangsa. Bangsa yang berbudaya dapat diperhatikan dari literasinya.
PERLU KESADARAN BERSAMA
Ketertiban merupakan satu wujud dari keberadaban masyarakat. Masyarakat yang tertib mengisyaratkan bahwa keberadaannya tinggi. Keberadaban dapat kita artikan sebagai pola hidup masyarakat. Demikian juga halnya dengan ketertiban dalam dunia perbukuan kita.
Ketertiban dalam dunia perbukuan terkait dengan keberadaban masyarakat perbukuan kita. Masyarakat perbukuan kita harus dapat bersikap sebagaimana harusnya agar beradab. Terkait dengan masyarakat perbukuan kita, maka keberadaban yang kita maksudkan pun terkait dengan segala aturan yang berlaku di perpusnas. Salah satu aturan adalah setiap pengajuan ISBN sebagai satu syarat administrasi penerbitan buku. Syarat administrasi yang dimaksudkan adalah penyetoran 2 (dua) eksemplar buku sebagai bukti terbit dan diarsipkan di perpusnas
Oleh karena itu, sudah hak dan kewajiban perpusnas untuk mengirimkan surat pemberitahuan sekaligus teguran kepada penerbit. Surat pemberitahuan ini merupakan upaya perpusnas untuk penertiban perbukuan nasional dan internasional. Oleh karena itu dibutuhkan kesadaran bersama terkait ketertiban ini.
Semoga segala upaya yang dilakukan perpusnas dapat menertibkan kembali masyarakat perbukuan di negeri kita. Aamiin.
Gembongan, 29 April 2022