Kita ada karena cerita. Tanpa cerita, kita tidak pernah ada dan cerita tidak pernah tuntas, bahkan saat kita telah tidur nyenyak.
Hal ini karena hidup dan kehidupan kita adalah rangkaian cerita yang saling berkesinambungan dan berlangsung seumur hidup kita. Selama nyawa masih bersemayam dalam raga kita, maka selama itu pula cerita akan lahir. Setiap ucapan dan tindakan kita akan melahirkan cerita. Dan, kita hidup karena cerita tersebut. Bagaimana kita dapat mengatakan bahwa kita hidup jika tidak ada bukti atas hidup kita.
Ada skenario yang sangat besar dan menjadi acuan kehidupan kita. Skenario tersebut adalah rangkaian adegan, dialog dan laku yang harus kita lakukan. Kita tidak dapat menyimpang dari skenario tersebut. Dan, kita tidak pernah melakukan kesalahan dalam menjalankan adegan, dialog, dan laku dari skenario akbar tersebut. Hal ini karena setiap apa yang kita lakukan memang bagian dari skenario tersebut.
Dan, setiap adegan, dialog, dan laku yang kita lakukan tidak ada jejak tertulisnya. Kita tidak pernah diberi script cerita yang harus kita perankan, melainkan langsung melakukannya tanpa pernah tahu teks skenario hidup kita.
Jika cerita itu kita biarkan begitu saja, maka cerita itu akan hilang begitu saja juga. Orang-orang tidak lagi mengenali kita. Kita akan hilang dari percaturan hidup selamanya. Nama kita ditelan bumi sehingga tidak ada seorangpun yang memperbincangkan nama kita. Hilang.
Akankah kita biarkan hal tersebut?
Kita sering mendengar atau membaca wacana tentang _*the lost generation.*_ Sebuah generasi yang hilang karena tidak adanya informasi tentang generasi yang dimaksudkan. Bahkan, bukti fisik keberadaan generasi tersebut tidak ada, tidak ditemukan hingga sekian generasi. Tidak ada informasi yang jelas terkait keberadaan generasi tersebut. Memang ada informasi tentang pernah adanya sebuah generasi, tetapi tidak ditemukan, hilang!
Salah satu langkah konkret untuk menjaga keberadaan sebuah generasi adalah dengan menulis. Dengan tulisan, maka setiap generasi dapat mengetahui keberadaan generasi sebelumnya sehingga dapat segera ditemukan keberadaannya.
Kita banyak menemukan peradaban karena tulisan. Lantas mengapa kita tidak mau menulis?
Kita harus belajar menulis untuk menganyam jejak keberadaan. Dengan tulisan, maka kita dapat mengabarkan keberadaan kita. Saat kita tidak ada, maka orang dapat memprediksi keberadaan kita. Kita dapat mengabarkan apapun terkait kehidupan kita, posisi, budaya, waktu kehidupan, apa yang terjadi saat itu. Dengan demikian, semua orang mudah untuk menemukan kita.
Kita menulis untuk menganyam jejak. Kita dapat meninggalkan jejak untuk generasi setelah kita. Hal ini karena tulisan itu abadi. Tulisan akan tetap ada dan akan menjadi sumber informasi. Oleh karena itu, kita harus menulis agar jejak kita tetap terbaca. Kita tidak boleh membiarkan jejak kita hilang begitu saja. Sekecil apapun jejak kita, maka itu adalah catatan penting untuk kehidupan kita. Mati kita menulis untuk keabadian mengantisipasi kepunahan tanpa informasi, jejak.
Semoga kita sudah memahami alasan mengapa kita harus menulis. Jangan sampai kita menjadi generasi yang hilang begitu saja di belukar kehidupan.
Salam literasi!!
Gembongan, 24 Desember 2022
Mohammad Saroni
Penulis buku:
#Personal Branding Guru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar