Wah, bagaimana caranya kita menjaga konsistensi dalam menulis? Padahal menulis itu kegiatan dengan tingkat kebebasan tinggi sebab hal tersebut merupakan pengejawantahan dari sikap diri. Menulis itu upaya untuk mengeks-presikan suasana dan keinginan hati.
Menulis itu adalah sebuah kebebasan. Kita tidak dapat memberikan batasan-batasan khusus pada proses menulis. Jika hal tersebut dilakukan, maka hal tersebut merupakan pengebirian kreativitas! Jika kegiatan atau proses penulis dibatasi dengan berbagai aturan dan konsistensi khusus, maka hal tersebut tidak berbeda dengan pemangkasan terhadap kemampuan diri.
Tetapi, ketika kegiatan menulis diberikan kebebasan, ternyata yang ter-jadi adalah sebaliknya. Mereka melakukan kegiatan kelewat batas. Bahkan menyimpang dari pakem yang seharusnya. Era globalisasi dengan segala konsekuensi dan dampaknya menjadikan dunia tulis menulis sebagai lahan subur untuk menyampaikan pendapat, gagasan dan beragam keinginan.
Dari sisi pribadi, seringkali kegiatan kepenulisan kita menyimpang dari konsep awal yang sudah kita tetapkan, sehingga menghilangkan cirri khas yang sudah terbangun. Konsistensi seorang penulis terhadap ragam tuliusan atau materi tulisan merupkan aspek penting sehingga rangkaian tulisannya dapat diikuti secara baik oleh pembacanya.
Memang, kita dapat saja menulis secara generalis, menyeluruh, tetapi hal tersebut sangat menuntut atas multiple intelegency seseorang. Jika kekuatan itu tidak dimiliki, tentunya akan terjadi penyimpangan konsep. Tidak heran ke-mudian terjadi penulis yang terbawa arus. Banyak penulis yang hanya menulis berdasarkan arus yang sedang terjadi di masyarakat semata. Tanpa kreativitas yang berarti.
Untuk hal tersebut, maka kita harus menjaga konsistensi menulis kita. Kita harus menjaga agar jangan sampai konsep tulisan kita terlalu menyimpang dari konsep dasar yang sudah kita canangkan. Jika terjadi penyimpangan, tentunya hal tersebut dapat memutus rangkaian gerbong materi yang sudah kita plot untuk tulisan tersebut.
Konsistensi menulis adalah ketaatazasan terhadap konsep-konsep dasar yang menjadi jalur kepenulisan.
Ya. Selama ini konsistensi tersebut masih terbatas pada perlombaan menulis yang diumumkan secara luas. Tetapi, sebenarnya konsistensi tersebut berlaku untuk semua tulisan yang dipublikasikan. Setiap media
Mengapa di setiap media
Sekali lagi kita ungkapkan disini bahwa setiap media
Dengan kondisi seperti itu, sebenarnya terbuka luas bagi kita untuk berkreasi dengan tulisan. Dunia tulis menulis adalah dunia bebas yang masih membutuhkan banyak orang pegiat. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa tidak semua pegawai, wartawan media
Sekarang ini banyak media
Ya. Cara yang mereka lakukan adalah dengan berlatih menulis. Berbagai kelas menulis mereka ikuti. Berbagai workshop kepenulisan mereka ikuti untuk dapat mempeorleh bekal keterampilan menulis yang diharapkan. Semakin keras mereka belajar dan berlatih , maka ketercapaian tujuan penguasaan keteram-pilan menulis semakin cepat tercapai.
Dalam hal ini, kita harus berprinsip bahwa menulis itu bukan bakat! Menulis itu adalah sebuah keterampilan yang dapat dipelajari dan dilatih! Pengertian ini harus benar-benar dipahami oleh setiap orang sehingga tidak ketakutan sebelum berperang. Kita harus mengakui bahwa sangat banyak orang yang ketakutan untuk menulis hanya karena terikat pada asumsi bahwa menulis itu adalah bakat seseorang. Banyak orang yang enggan menulis sebab merasa tidak ada bakat, tidak ada garis keturunan yang memberinya kemampuan untuk menulis.
Memang sebenarnya segala kemampuan yang dimiliki oleh seseorang didapatkan dari proses belajar, bahkan ada yang mengatakan bahwa di dalam drii seseorang bakat hanyalah sejumlah 1 % sedangkan 99%-nya adalah usaha, salah satunya adalah proses belajar. Semua orang pada dasarnya mempunyai kesempatan yang sama pada penguasaan keterampilan, dalam hal ini keteram-pilan menulis. Dan, tingkat kualitas penulisan tergantung pada seberapa besar usaha yang dilakukan untuk proses penguasaan keterampilan menulis tersebut.
Orang Jawa mengatakan bahwa Kacang gak ninggal lanjaran atau buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Kedua pepatah ini mempunyai pengertian yang sama bahwa seseorang itu sebenarnya mempunyai sifat tidak berbeda, tidak jauh dari orangtuanya (lanjaran atau pohonnya). Bagaimana sifat seseorang tergantung bagaimana sifat orangtuanya. Ini pepatah yang cukup menarik perhatian dan sering dijadikan sebagai alasan pada latar belakang kemampuan seseorang.
Disinilah kita harus berbuka hati bahwa sebenarnya pepatah tersebut hanyalah bombongan hati semata. Tidak selalu sifat seseorang adalah turunan atau warisan dari orangtuanya. Apalagi dalam masalah kemampuan atau ke-terampilan seseorang. Rasanya hanya sebuah pembenaran semata jika seseorang mengatakan bahwa keterampilan yang dimilikinya adalah warisan dari orang tuanya. Ini sebuah lelucon yang tidak lucu!
Terkait pada kemampuan atau keterampilan menulis, maka sungguh hal yang lucu jika kita mengatakan kita tidak berkemampuan menulis hanya karena orangtua kita bukan seorang penulis. Memang banyak orang-orang yang menjadi penulis karena orangtuanya penulis atau menjadi guru karena orang tuanya guru. Menjadi petani karena orangtuanya petani. Tetapi semua itu bukan semata-mata sebagai proses pewarisan, melainkan semata-mata akibat dari kondisi saja.
Seseorang yang orangtuanya penulis dapat menjadi penulis sebab setiap saat dalam kehidupannya yang dihadapi, dilihat adalah proses kreatif yang dilakukan oleh orangtuanya. Orang bisa karena biasa.
Bolehlah seseorang itu anak seorang penulis handal, tetapi tanpa proses latihan, maka faktor keturunan tersebut sama sekali tidak ada perannya sama sekali. Tetapi, jika dia anak seorang penulis dan selanjutnya berlatih dan berlatih terus menerus, maka keterampilan tersebut terasah dan menjadi mahir.
Seseorang yang menjadi penulis karena latar belakang keluarga yang penulis dimungkinkan sebab setiap hari mereka berkutet dengan proses menulis. Setiap saat mereka melihat ayah mereka atau ibu mereka melakukan kegiatan menulis. Mereka memang terkondisikan seperti itu. Mereka mampu karena setiap hari melihat kebiasaan seperti itu.
Ya. Lingkungan tetap memegang peran sangat penting di dalam peng-kondisian ini. Orang bilang, dengan siapa kita bergaul, maka seperti itulah kita! Oleh karena itulah, maka salah satu cara agar kita dapat menulis adalah selalu berada di lingkungan orang-orang yang suka menulis. Kita harus selalu berada di dalam lingkaran komunitas orang-orang yang menjadikan kegiatan menulis sebagai kegiatan harian.
Jika kita selalu berada di sekitar komunitas menulis, maka secara tidak langsung diri kita juga terbiasa untuk melakukan kegiatan yang sama. Maka, sekali lagi bergaullah dengan orang-orang yang suka menulis jika ingin mejadi penulis. Orang-orang secara ekstrim mengatakan : Bergaullah dengan maling, maka kita pasti akan menjadi maling. Menganalogkan dengan hal tersebut, maka bergaullah dengan penulis, maka kau akan menjadi penulis!
Begitulah, sekali lagi menulis itu sebuah keterampilan yang dapat dipel-ajari. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa setiap orang dapat menjadi penulis. Setiap orang berkemungkinan mengembangkan diri dalam dunia tulis menulis tanpa takut bukan dari keluarga penulis. Jika kita selalu berada di lingkungan orang-orang yang suka menulis dan ikut berlatih untuk menulis, maka yakinlah suatu saat kita dapat menjadi seorang penulis. Tentunya, semua tidak dapat mengabaikan faktor latihan dan latihan. Percuma kita berada di lingkungan atau komunitas penulis dan berharap secara otomatis menjadi penulis jika kita sama sekali tidak pernah latihan menulis.
Kemauan sebagai modal utama
Hal lain yang menjadikan kita mempunyai keterampilan menulis adalah adanya kemauan yang kuat dari dalam diri agar mampu menulis. Kemauan ini merupakan motivator terbaik dalam segala hal, termasuk menulis. Hal ini adalah motivasi intriksi dan lebih bersifat permanen daripada motivasi ekstrinsik, akibat pengaruh orang lain.
Ingatlah pada saat kita mempunyai kemauan atas sesuatu. Maka segala hal kita lakukan agar dapat mencapai keinginan tersebut. Dengan sekuat tenaga kita berusaha menggapai keinginan tersebut, apalagi saat kita masih kecil, kita bahkan sampai harus menangis, mengggelosor di bawah etalase toko. Ini me-rupakan usaha agar keinginan atau kemauan kita dapat tercapai, yaitu dituruti oleh ayah atau ibu kita. Lantas, mengapa kita tidak dapat intens seperti itu pada saat kita berkemauan untuk menjadi seorang penulis?
Menulis sangat membutuhkan kemauan yang kuat untuk mewujudkan gagasan yang ada didalam otak. Dengan kemauan yang ada di dalam hati dan otak, maka telah tersusun sebuah jembatan penghubung antara dunia dalam diri dengan dunia di luar diri.
Prinsip di dalam kepenulisan adalah menyambungkan dunia dalam diri (inert) dengan dunia di luar diri (extert). Kedua dunia ini sebenarnya merupakan rangkaian gerbong kehidupan yang jalur relnya dibatasi oleh sebuah wadag. Jika jalur rel dapat dibuka, maka tentunya kereta dan gerbong dapat segera me-luncur, baik yang keluar dari diri maupun yang memasuki dunia dalam. Proses transportasi inilah yang selanjutnya mampu memberikan konstribusi atas ter-wujudnya sebuah koneksi antar kondisi.
Dunia luar menghadirkan berbagai fenomena dan dunia dalam menyim-pan fenomena yang terangkut oleh gerbong inetarksi yang ada. Fenomena yang memasuki gerbang dan istana dunia dalam selanjutnya mengalami proses identifikasi dan proses spesifikasi sehingga menjadi sebuah konsep siap terbit.
Orang-orang yang mempunyai kemauan besar pasti segera menangkap fenomena ini sebagai sebuah sarana untuk mengaktualisasikan dirinya. Setiap orang mempunyai kemampuan untuk menerima fenomena alam ini sebab setiap orang merupakan bagian dari kehidupan ini. Setiap saat mereka pasti harus menghadapi permasalahan yang muncul dalam kehidupan ini. Dan, yang ter-penting adalah bahwa setiap manusia itu mempunyai kemauan. Setiap orang mempunyai nafsu untuk mewujudkan kemauan driinya.
Jika nafsu ini benar-benar kita kelola, maka sebenarnya eksistensi nafsu bagi manusia sangatlah bagus. Coba kita bayangkan seandainya manusia tanpa nafsu?! Tentunya hidup seperti air di bak mandi. Tenang tanpa kecipak apalagi riak yang menandakan kehidupan.
Ya, kemauan menjadi salah satu penentu keberhasilan kita di dalam kegiatan. Hidup menjaga sesuatui yang biasa-biasa saja. Tidak ada riak yang menunjukkan adanya greget kehidupan. Hidup tanpa kehidupan, dapat kita bayangkan kondisi seperti itu?
Di dalam kepenulisan, kemauan merupakan modal utama untuk mewu-judkan sebuah tulisan yang kita inginkan. Dengan kemauan yang kita miliki, maka setidaknya kita dapat menggambarkan kondisi yang akan kita ungkapkan.
Ya, jika kita ingin memasuki dunia kepenulisan, maka setidaknya kita perlu menjaga konsistensi kemauan di dalam kepenulisan tersebut. Jika kita kehilang-an konsistensi tersebut, maka banyak hambatan yang bakal menghalangi proses kreatif yang sudah kita bangun.
Menulis itu pada dasarnya adalah refleksi dari sekian banyak kemauan dalam diri kita. Semakin besar kemauan kita, maka semakin besar kemungkinan keberhasilan kita dalam menggeluti dunia kepenulisan.
Memang, untuk mengawali sesuatu adalah sulit. Setiap saat kita harus menghadapi berbagai hambatan, baik dari dunia luar maupun dunia dalam. Tetapi jika kita sudah mampu mensinkronkan kondisi antaradunia luar dengan dunia dalam, maka segala sesuatu dapat mengalir begitu saja. Kita tidak perlu repot-repot harus melakukan tapa brata hanya untuk menuliskan sebuah gagasan. Kita tidak perlu mengasingkan diri untuk dapat menghasilkan sebuah tulisan. Dimanapun kita berada, maka jika saat tersebut kita mau menulis, maka kalimat-kalimat akan mengalir begitu deras.
Kapanpun kita mau, jika ada mesin ketik, keyboard komputer atau selembar kertas dan pensil, maka pada saat tersebut kita dapat menuangkan gagasan yang menumpuk di dalam hati dan otak sehingga terwujud sebuah tulisan yang cukup bagus.
Oke, selamat memompa semangat untuk ikut berkiprah dalam dunia tulis menulis yang selalu membuka pintu bagi semua orang yang ingin bergabung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar